KOLOM

Perlunya Tindakan Progresif Petinggi Partai dalam Rangka Pelaksanaan
Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan

Oleh: Melli Darsa, SH, LLM

AFIRMASI keterwakilan perempuan dalam politik adalah kebijakan yang sudah dilahirkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Namun hingga saat ini kebijakan ini masih belum efektif dan cenderung hanya merupakan suatu “lip service”. Perlu diakui oligarki politik Indonesia merupakan proses yang sulit bagi pria sekalipun, dan memang “barrier to entry to politics” umumnya terlalu berat untuk manusia biasa ataupun
malaikat.

Di tahun 2024, sudah waktunya Kebijakan Afirmasi ini membuktikan suatu kemajuan, dan bukan tetap
menempatkan perempuan sebagai “vote getter” atau “cheerleader” namun bukan pihak yang dapat turut
menikmati kemenangan bersama kolega prianya.

Di Pemilu 2024 afirmasi keterwakilan perempuan ditekankan dalam UU No. 7 Tahun 2023 tentang Perppu No. 1 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 173 ayat 2 butir e yang menyebutkan menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.

Pasal 245 menyebutkan pula bahwa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Afirmasi perempuan dalam UU Pemilu tidak hanya terhadap Caleg, tetapi juga penyelenggara. Pasal 22 UU Pemilihan Umum menyebutkan keanggotaan tim seleksi calon anggota KPU RI dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.

Keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI selaku penyelenggara teknis dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI harus memperhatikan Persentase
keterwakilan perempuan paling sedikit 30% disebutkan dalam UU Pemilu (Pasal 92 ayat 11).

Sebut saja bahwa penyelenggara untuk tingkat kecamatan Panitia Pemungutan Kecamatan atau PPK (Pasal 52 ayat 3), Panitia Pemungutan Suara paling atau PPS tingkat kelurahan (Pasal 55 ayat 3) dan Kelompok Petugas Pemungutan
Suara atau KPPS (Pasal 59 ayat 4).

Terkait ini, kita harus belajar dari dunia korporasi bahwa suatu Direksi dan Dewan Komisari baru akan berubah dalam pola pengambilan keputusan menuju pro-gender, saat ada lebih dari 1 atau bahkan minimal 3 Direktur dan Komisaris. Demikian pula harus dilihat sejauh mana, jumlah keterwakilan perempuan itu cukup signifikan untuk memastikan keputusan yang diambil lebih mengedepankan kepentingan perempuan dan anak.

Atau jangan-jangan, karena perempuan itu “outnumbered” akhirnya hanya mengikuti putusan pria yang ada dan
justru menghasilkan legislasi yang amat merugikan perempuan dan anak.
Selain itu, mengingat sistem yang memungkinkan banyak partai, dan masing-masing partai harus
menyediakan begitu banyak calon, tantangan yang dihadapi caleg perempuan menjadi lebih berat lagi ditengah
rakyat dibuat bingung harus pilih siapa di tengah kertas suara dengan banyak nama tersebut.

Ini belum mempertimbangkan kesanggupan finansial yang dibutuhkan untuk nyaleg, yang jika perempuan itu adalah istri tentunya belum tentu merupakan putusan yang bisa diambilnya secara bebas dari pandangan suami.
Harus diakui bahwa jarang ada perempuan yang secara mandiri dapat mengeluarkan uang yang diperlukan, tanpa dapat bergantung pada fasilitas dan bantuan sosial yang umumnya hanya tersedia kepada incumbent.

Namun yang juga menarik berdasarkan pengalaman saya, uang untuk proses politik yang harus dikeluarkan saya sebagai caleg, umumnya lebih tinggi dari laki-laki. Faktor lebih tingginya adalah sebagai perempuan, kita harus melewati banyak perantara untuk dapat menembus ke pihak-pihak yang memiliki
pengaruh untuk mengamankan atau memperkuat kedudukan kita sebagai caleg.

Selain itu, kita bisa melihat bahwa sistem penghitungan suara yang walau pun hendak dikesankan lebih berdasarkan “IT’ ternyata justru banyak menghasilkan kesalahan, selain itu masih melibatkan kewenangan personal penyelenggara.

Dengan arti lain bahwa sistem yang konon transparan itu sendiri justru banyak
mengandung “error teknologi” selain juga masih memungkin diskriminasi terhadap perwakilan perempuan.Faktor lain adalah bukan rahasia lagi bahwa proses pencalonan penyelenggara dan pengawas kerap dipengaruhi atau dilobby jauh-jauh hari sebelum Pemilu itu sendiri, oleh pihak-pihak yang kemudian akan
mempunyai kepentingan dalam Pemilu itu sendiri.

Sejauh mana perempuan dalam posisi untuk bisa melobby seperti itu perlu dipertanyakan. Kesan kolusi calon dan peneyelenggara, atau adanya “hutang budi” sistemik antara penyelenggara dan
calon di masa sebelumnya yang mengurangi kredibilitas pengawas dan penyelenggara yang imparsial. Seperti
juga dalam konteks terkait kemiskinan, ketidakadilan yang umumnya akan pertama dan utamanya merugikan
perempuan, demikian juga proses ini menjadi hambatan lebih besar pada Kebijakan Afirmasi Keterwakilan
Perempuan.

Untuk itu, menurut saya pribadi mengingat sistemnya sudah cenderung tidak “JURDIL” sehingga “TIDAK
PRO PEREMPUAN”, hanyalah Petinggi Partai yang bisa intervensi untuk memastikan bahwa calon legislator
perempuan-perempuan kompeten tetap bisa lolos dari lubang jarum.

Khususnya dalam hal di suatu Dapil sudah jelas dapat dimenangkan lebih dari satu kursi maka sewajarnya, perempuan diijinkan dalam rangka Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan untuk menduduki kursi tersebut dan tidak hanya dikaitkan siapa yang mendapatkan “kursi terbanyak”.

Kebijakan Afirmasi yang ada harus lebih berani menempatkan perempuan sebagai wakil rakyat, karena dengan sistem yang membingungkan pemilih, belum tentu dari suara murni menghasilkan “wisdom” dari pemilih.

Harusnya Petinggi Partai yang paling memahami apa yang dibutuhkan konstituen suatu Dapil guna kemajuannya di lima tahun mendatang.

Berbagai indikasi praktek kurang sehat dari kekisruhan penghitungan suara, indikasi hutang budi penyelenggara pada calon tertentu, dan juga suatu pengkondisian secara sistemik di Pemilu 2024, berpotensi menurunkan afirmasi keberadaan perempuan di parlemen.

Berdasarkan hasil Pemilu 2019 keberadaan legislatif perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia baru mencapai 120 anggota dari 575 anggota DPR RI atau 20,8% dari kuota afirmasi 30%. Semoga di Pemilu 2024, representasi perempuan khususnya bagi partai yang berhasil mendapatkan simpati rakyat sebagai Juara I, II, III dapat membuktikan keberpihakannya kepada
caleg perempuan yang kompeten di bidang legislasi dapat memperkaya dan meningkatkan kualitas legislasi
agar lebih pro-perempuan untuk 5 tahun ke depan.

Petinggi Partai yang menjadi pemenang Pemilu 2024 harus memberikan contoh untuk lebih melaksanakan Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan secara progresif.

Penulis adalah Caleg DPR RI untuk Dapil Jabar III, dari Partai Golkar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *