Tetap Optimis Di Tengah Badai Krisis Global
Oleh: Aji Setiawan
penapersatuan.com – Badai krisis global mulai pandemi, konflik di Rusia, konflik israel, krisis ekonomi serta perubahan iklim beruntun datang bersamaan.
Dampak krisis global ini menghantam seluruh sendi kehidupan. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang saat ini terancam dengan berbagai kekurangan pangan, air bersih, udara sehat, kecukupan sumber enegy dan industri yang ramah lingkungan.
Indonesia dianggap masuk sebagai salah satu keajaiban ekonomi dunia bersama Vietnam, India, Yunani, Portugis, Saudi Arabia dan Jepang.
Ketujuh negara ini dianggap sebagai survivor dari krisis global lantaran Covid-19 serta dampak konflik di Eropa Timur. Mereka tetap kuat menjaga pertumbuhan ekonomi sambil mengendalikan inflasi walau moderat. Serta mampu menjaga kegairahan pasar. Itu semua dianggap jadi faktor penting, sementara di banyak negara lain pemerintahnya limbung dalam menghadap situasi dunia seperti sekarang ini.
Apa sebab Indonesia bisa kuat menghadapi krisis global itu? Kekuatan sumber-daya (alam dan manusia) yang berhasil dikelola dengan baik telah jadi bukti daya tahan ekonomi Indonesia. Populasi 276 juta orang diolah jadi pasar yang sangat ‘resilient’ sehingga menyebabkan ekonomi domestik mampu jadi pengimbang ekonomi ekspor.
Untuk ini kita boleh apresiasi kebijakan Presiden Jokowi yang telah berani menempuh jalan terjal hilirisasi tambang. Kita pun menanti terealisasinya program hilirisasi di sektor pertanian, kelautan, kehutanan, dan tentu saja manufaktur.
Tentu kita sepakat dengan kebijakan mengelola sumber-daya alam yang mengedepankan kepentingan nasional. Seperti larangan ekspor bahan mentah serta realokasi subsidi yang tidak tepat sasaran serta Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang terarah langsung ke lapisan bawah (termasuk UMKM). Termasuk dana desa. Ini semua telah banyak membantu penguatan ekonomi lapisan bawah.
Daya beli rakyat dikuatkan sementara potensi korupsi di atas dipotong. Karena kalau keburu dikorupsi di atas, biasanya dana itu dilarikan keluar, dan ini capital-flight! Tapi kalau digelontorkan langsung ke bawah via BLT misalnya, bisa terjadi konsumsi serta produksi yang dampaknya menggairahkan pasar lokal.
Kita semua tentu berharap, agar Indonesia bisa terus unjuk gigi sebagai salah satu keajaiban ekonomi dunia yang sedang galau ini.
Kebijakan ketujuh negara itu secara singkat diurai;
Pertama, investasi besar-besaran di infrastruktur (kasus Vietnam). Kedua, pengelolaan sumber-daya alam dan manusia (kasus Indonesia). Ketiga, Investasi baru di bidang layanan digital dan manufaktur (kasus India). Keempat, Yunani bangkit kembali dari investasi asing serta pariwisata. Kelima, Portugis juga demikian ditambah kebijakan pensiun serta golden-visa yang menarik banyak pengunjung sekaligus investor.
Keenam, Saudi Arabia melakukan diversifikasi bisnis, kebijakan pelonggaran larangan terhadap kaum perempuan, para pekerja dan wisatawan, termasuk kegiatan bisnis hiburan malam. Realokasi pemanfaatan uang minyak ke pembangunan infrastruktur, termasuk 10 kota pintar (smart-cities).
Ketujuh, Jepang yang agak mengejutkan, menurut Sharma upah buruh di Jepang bisa lebih rendah dibanding China. Dan dengan nilai tukar Yen yang turun telah mendorong ekspor.
Rasanya di penghujung tahun ini kita ingin pulih lebih cepat.
Negara yang defisit dalam beberapa tahun terakhir dengan beban utang, cicilan plus bunga yang terjadi hampir 800 Trilyun per tahun dari akumulasi total jumlah HTN 7250 Trilyun tentu menjadi ancaman serius bagi membiayai keuangan sebuah bangsa.
Untuk mengantisipasi kenaikan ULN pada 2024 defisitnya mencapai di atas 500 T, pemerintah harus melakukan berbagai cara. Misalnya dengan menurunkan porsi Surat Bunga Negara (SBN) valuta asing serta mencari alternatif pendanaan.
Mencari alternatif pendanaan misalnya kerja sama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk meredam risiko suku bunga tinggi.
Kemudian, melakukan perencanaan ulang terhadap kebutuhan anggaran dana serta melakukan penghematan terhadap anggaran kementerian dan lembaga. Serta melakukan penundaan proyek infrastruktur yang dinilai membebani anggaran yang cukup besar.
Pemerintah perlu meningkatkan rasio pajak khususnya kontribusi dari industri manufaktur yang berperan sebesar 30% dari total penerimaan pajak negara. Rasio kenaikan pajak ini tentu berdampak situasi buble, akan terjadi kenaikan harga dan inflasi.
Menutup defisit keuangan negara bisa dicegah sedari sekarang dengan memacu pertumbuhan investasi unggulan seperti industri makanan dan minuman yang tumbuh 30%, industri kreatif dan pariwisata yang mulai pulih, UMKM bergeliat, penataan kawasan-kawasan pesisir potensial dll.
Selain itu perlu memompa pendapatan negara serta sekaligus mengikis proyek pemborosan pengeluaran negara. Sehingga leseimbangan neraca keuangan diusahakan tidak defisit alias, njomplang besar pasak daripada tiang.
Tiada upaya lain harapan pulihnya sektor Riil, UMKM segera bergerak cepat go internasional dan tentu saja sektor-sektor produktif menjadi harapan agar tetap melangkah optimis dengan pertumbihan ekonomi yang ditargetkan.Tentu lompatan pertumbuhan ekonomi tidak sim salabim, ikhtiar ini harus dikelola penuh kebersamaan apalagi memasuki tahun politik 2024, dimana agregat riuh gegap gemita ruang perbedaan politik dan adu lepentingan semestinya dofokuskan untuk memerangi defisit APBN dan bersatu padu meningkakan pendapatan.
Pemerintah sepertinya abai dengan besarnya beban utang yang ada saat ini, membuat keseimbangan primer APBN mengalami defisit.
Pemerintah menggunakan utang baru untuk membayar utang lama yang jatuh tempo. Jebakan utang ini membuat kita berjibaku selalu menggali lubang hanya untuk menutup lubang yang lama, bahkan rasanya gali lubang tutup lautan..hutang. Kalau kondisi ini saja bisa diabaikan oleh pemerintah, sepertinya kepentingan nasional yang terganggu dan dikorbankan dengan adanya proyek jalur sutra bisa jadi tak begitu dihiraukan.”Apakah pemerintah sengaja mewariskan beban bagi rezim berikutnya dengan masalah jebakan utang infrastruktur…?”
Penulis adalah: Alumni Teknik Manajemen Industri, Fak Teknologi Industri, Universitas Islam Yogyakara.