Kalisalak Tempat Bersejarah Basis Perjuangan Mwlawan Penjajah
Batang, penapersatuan.com -bBanyak tokoh okoh besar menghadiri haul akbar dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Kalisalak, Kecamatan Limpung, Minggu (29/10).
Seperti Raja Keraton Sumedang Larang Sri Radya HRI Lukman Soemadisoeria, hingga Habib Lutfi bin Yahya.
Hal ini karena Desa Kalisalak punya sejarah panjang perjuangan kemerdekaan dan penyebaran Islam.
Haul akbar tahun ini puncaknya digelar hari Minggu pagi (29/10) di masjid Nurul Jamal.
Kepala Desa Kalisalak, Setiadi menyebutkan di desanya terdapat tujuh makam aulia yang berada di dua lokasi.
Saat ini kondisinya terawat baik. Setiap tahun digelar haul akbar yang berpusat di masjid dukuh Kalibening.
Di kompleks masjid Dukuh Kalisalak terdapat makam Kiai Kidam Muhammad dan Habib Hamid bin Idrus.
Sedangkan di kompleks masjid dukuh Kalibening ada makam Habib Umar bin Yahya, Habib Hasan bin Abdullah, Habib Husein, Habib Abdurrohman dan Syaikh Ibrahim.
KH Ahmad Rifa’i, tokoh Rifaiyah dan tokoh Pahlawan Nasional dari Kabupaten Batang dan Rifaiyah juga pernah berjuang di Kalisalak pada tahun 1.800-an.
“Dengan adanya makam para aulia membuat Desa Kalisalak mempunyai hubungan dekat dengan Habib Lutfi bin Yahya,” terang Setiadi.
Abad ke-19 adalah masa yang amat penting dalam perjalanan sejarah Jawa. Pada masa ini, kekuasaan kolonial Eropa – yang sejak kurang lebih dua abad sebelumnya telah hadir di Pulau Jawa – berhasil menancapkan otoritasnya di Jawa.
Setelah mengambil alih kekuasaan dari tangan VOC yang bangkrut, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem administrasinyakepada masyarakat pribumi yang sebelumnya berada di bawah para penguasa tradisional.
Para penguasa tradisional tersebut – yang di Jawa biasa disebutpriayi – menjadi bawahan pemerintah kolonial dalam melaksanakan sistemadministrasinya (Kartodirdjo dkk, 1976: 151-154).
Kehadiran penguasa kolonialBelanda meningkatkan tekanan terhadap masyarakat pribumi. Tekanan tersebut semakin nyata ketika pemerintah kolonial menerapkan Sistem Tanam (Cultuurstelsel) mulai tahun 1830.
Pelbagai tekanan yang melanda masyarakat pribumi mendorong munculnya gerakan dan pemberontakan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Sepanjang abad ke-19 banyak gerakan dan pemberontakan sosial yanglahir dan berkembang di Jawa. Sebagian gerakan mampu mengonsolidasikan kekuatannya untuk melawan kekuasaan kolonial dan para pembantunya dari kalanganelit tradisional bahkan mampu melancarkan perlawanan fisik.
Sebagian lagi hanyamampu melancarkan perlawanan dalam bentuk gerakan protes tanpa konfrontasi secara fisik. Ada sebagian dari gerakan sosial itu yang berhasil mempertahankan eksistensinya – bahkan hingga sekarang – sebagai sebuah komunitas tetapi tidak sedikit pula yang hilang ditelan zaman. Di antara gerakan sosial tersebut termasuk di dalamnya adalah gerakan sekte kegamaan.
Masa meluasnya kekuasaan kolonial Belanda bertepatan dengan tumbuhnya kesadaran beragama di kalangan kaum muslimin Jawa. Pada abad ke-19 seiring dengan semakin banyaknya orang Jawa yang menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Tanah Suci (Mekkah dan Madinah) timbul kesadaran bahwa Islam yang dipraktikkan di Jawa banyak bercampur dengan tradisi lokal yang bercorak animis dan dipengaruhi budaya Hindu-Buddha.
Sampai dengan masa itu pemahaman dan praktik Islam di Jawa juga kental dengan unsur mistik sebagaimana tercermin dalam karya-karya sastra tradisional seperti suluk danserat (Simuh, 2003: 70-73). Kentalnya unsur mistik dalam pemahamandan praktek Islam di Jawa ini membuat banyak di antara masyarakat Jawa yang cenderung mengabaikan aspek syari’at dalam praktik keberagamaannya karena lebih memperhatikan aspek esoteris (batiniah).
Kondisi ini mendorong orang-orang yang baru kembali dari Tanah Suci untuk menyebarkan pemahaman dan praktik Islam yangbersifat ortodoks ke tengah-tengah masyarakat (van Bruinessen, 1995: 151).Selain itu, kehadiran penguasa kolonial Belanda – yang dipandang sebagai ‘penguasa kafir’ – mendorong mereka melakukan perlawanan – baik secara pasif maupun aktif – terhadap pemerintah kolonial dan elit birokrasi tradisional yang berkolaborasi dengannya.
Dalam usia 30 tahun ia menunaikan ibadah haji atas biaya kakaknya.Selama di Mekkah ia tinggal beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang pada masa itu di samping menunaikan ibadah haji juga menuntut ilmu pada ulama setempat. Mekkah dan Madinah atau yang biasa disebut Haramain(dua tempat suci) menduduki posisi yang sangat penting dan menjadi daya tarik tersendiri bagi umat Islam. Mekkah dan Madinah memiliki kedudukan yangberkaitan dengan ibadah haji, kota kelahiran dan pertumbuhan awal Islam maupun pusat ilmu agama Islam.
Selama di Mekkah K.H. Ahmad Rifa’i berguru kepada sejumlah ulama di sana. Guru-gurunya antara lain Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Syaikh Abdurrahman, Syaikh Isa al-Barawi, danSyaikh Faqih Muhammad bin Abdul Aziz al Jaisyi (Darban, 1999: 29). KalanganRifa’iyah meyakini di Mekkah ia bertemu dengan dua ulama terkenal Jawa yaitu Imam Nawawi dari Banten dan Kiai Kholil dari Madura. (Amin, 1994: 29).
Ketiganya sangat prihatin dengan kondisi keagamaan masyarakat di Jawa yang masih jauh dari nilai-nilai Islam. Hal ini diperparah dengan hadirnya penjajah Belanda diJawa. Mereka bertiga mengadakan musyawarah dan hasilnya adalah mereka sepakat untuk mengadakan pembaharuan dan pemurnian Islam lewat pengajian, dialog, dan penerjemahan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa.
Selain itu ketiganya berbagi tugas untuk menulis kitab. K.H. Ahmad Rifa’i mengarang kitabyang membahas fikih, Kiai Nawawi menulis kitab yang membahas ushuluddin, dan Kiai Kholil menyusun kitab tasawuf (Amin, 1994: 29).
Sesudah menuntut ilmu di Mekkah ia pulang ke Kendal dan membantu kakaknya mengajar di pesantren,pada saat itu ia berumur 51 tahun. Kemudian ia pindah ke Kalisalak sebuah desa di Kecamatan Limpung Batang yang pada masa itu masuk dalam keresidenan Pekalongan.
Sepulang dari Timur Tengah inilah masa produktif K.H. Ahmad Rifa’idalam menulis kitab tarjamah atau tarojumah, ia mulai menulis kitab ketika berumur 54 tahun Kitab-kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i dinamakan Tarojumah dan ajarannya juga dinamakan ajaran Tarojumah karena memang kitab-kitab karyanya merupakan terjemahan dari beberapa ayat Al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab berbahasa Arab (Amin, 1989: 45).
Sebenarnya penamaan kitab Tarojumah sendiri kurang tepat sebab tidak ada satu pun dari karya K.H.Ahmad Rifa’i yang benar-benar merupakan hasil terjemahan dari kitab-kitab berbahasa Arab (Abdullah, 2006: 92). Karya KH. Ahmad Rifa’i merupakan saduran dari kitab-kitab berbahasa Arab hasil tulisan ulama terdahulu ditambah dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits.
Penamaan Tarojumah bertujuan menghindari konsekuensi politis karena banyak ungkapan yang dinilai berbahaya bagipemerintah kolonial Belanda, nama itu ditampilkan agar terkesan bahwa kitab itu bukanlah pandangan K.H. Ahmad Rifa’i sendiri, tetapi hanya sekadar menyalindari kitab berbahasa Arab (Jamil, 2001: 25).
Mengenai berapa jumlah kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i masih simpang siur karena ada beberapa pendapat, di antaranya sebagai berikut: 61 buah (Amin 1989: 53), 53 buah (Kartodirdjo dkk, 1976: 301),55 buah (Kuntowijoyo, 1999: 130). Perbedaan pendapat ini karena K.H. Ahmad Rifa’i juga menulis tanbih (semacam buletin).
Sebagian memasukkannya sebagai kitabkarya K.H.Ahmad Rifa’i sementara sebagian lagi tidak memasukkannya. Sebagian besar kitab Tarojumah membahas ushuluddin,fikih, dan tasawuf.
Di Kalisalak ia membangun sebuah komunitas pengajian, mula-mula ia mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an. Namun lambat laun orang dewasa dari Desa Kalisalak dan sekitarnya tertarik untuk mengaji padanya.
Di desa tersebut K.H.Ahmad Rifa’i menikah dengan janda Demang Kalisalak yang bernama Nyai Sujinah. Pernikahan K.H. Ahmad Rifa’i dengan Nyai Sujinah menunjukkan bahwa dirinya mendapat dukungan dari orang yang mempunyai status sosial cukup tinggi yang nantinya dapat memberi manfaat bagi kelangsungan dakwah.
Di tempat barunya ini K.H. AhmadRifa’i menyebarkan pemikiran Islam melalui kitab Tarojumah yang ia tulis sendiri. Kitab Tarojumah ini berbentuk nazham atau syair dalam bahasa Jawa dan berhuruf Arab (Arab Pegon). Hal ini tidak lepas dari kondisi sosio-kultural orang Jawa pada abad ke-19 yang tidak memungkinkan untuk mempelajari dan memahami kitab-kitab yang berbahasa Arab. Selain itu agar mudah dihafalkan dan dipahami.
Gerakan Rifa’iyah Di Kalisalak, Ahmad Rifa’i melahirkan sebuah gerakan yang dinisbahkan kepada namanya sendiri yaitu Gerakan Rifa’iyah yang juga dikenal dengan nama-nama lain seperti “Kelompok Ubudiyah” atau disebut juga “Kelompok Budian”, “Kelompok Ngelmu Kalisalak” dan “Santri Tarajumah”. Gerakan ini dimulai sejak ia mengembangkan dakwahnya di Kalisalak pada tahun 1850.
Mengenai metode pengajarannya, ia menggunakan ajaran yang bersifat puritan dan ia ingin menyempurnakan ajaran Al-Qur’an, yang menurutnya sering diajarkan dengan banyak kesalahan dan kekurangan. Menurut Ahmad Rifa’i ilmu keislaman secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ilmu usuluddin (teologi), ilmu fiqih (hukum), dan tasawuf (mistik).
Sampai sekarang gerakan ini masih dapat dijumpai, terutama di Kaliwungu, Cirebon, Kedu, Kendal, Wonosobo, Pekalongan, Batang, dan Semarang. Namun gerakan ini tidak lagi anti pemerintah. Ketertutupan yang dulu dilakukan kepada pemerintah kolonial Belanda sekarang pun sudah berubah.
Karena jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara, KH. Ahmad Rifai diakui sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 089/TK/Tahun 2004, Tanggal 5 Nopember 2004.
Baru-baru ini, tim dari Desa Kalisalak berkunjung ke Kerajaan Sumedang Larang. Di sana mereka menemukan bahwa masjid di Desa Kalisalak berdiri sekitar tahun 1.610 Masehi, pada zaman Kiai Kidam Muhammad.
Hal tersebut diketahui karena kubah masjid Kalisalak yang terbuat dari tanah liat sama seperti di Kerajaan Sumedang Larang.
Beberapa tokoh yang hadir dalam haul akbar ini adalah KH Mustafa Aqil Siradj, KH Ahmad Muwafiq dan Gus Fuads Ghinan dari Sumedang bergantian mengisi tauziyah di depan ribuan hadirin yang datang dari berbagai daerah.
Habib Lutfi yang hadir di puncak acara, meresmikan bangunan makam Kiai Kidam Muhammad yang telah direhabilitasi.
Salah seorang tokoh masyarakat Kalisalak Kiai Rofi’i menceritakan pada saat perang Jawa meletus tahun 1825 Habib Umar bin Yahya ditugaskan oleh Diponegoro untuk menjadi telik sandi atau intelijen yang mengawasi gerak pasukan Belanda.
Tetapi tugas ini bocor dan membuat pasukan Belanda menyerbu daerah sekitar Kalisalak.
“Kediaman Habib Umar dibombardir tank dan mortir serta dikepung ratusan tentara Belanda. Habib Umarpun gugur dan rumah beliau dijadikan makam,” katanya.
Kisah heroik Habib Umar diperoleh dari penelitian orang Jepang bernama Yumi Sugahara yang sedang membuat tesis S-3 untuk meraih gelar doktor.
“Sebelumnya hanya menjadi cerita rakyat turun temurun. Tapi setelah Yumi Sugahara datang dan membawa literasi dari Den Haag Belanda tahun 2006 akhirnya ketemu alur ceritanya. Catatan lengkap tentang pejuang di Kalisalak ada di Den Haag,” tandasnya.
(Aji Setiawan)