NASIONAL

Menyudahi Politik Dinasti

Purbalingga, penapersatuan.com – Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indenik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga. Apa Yang terjadi seandainya Negara Atau Daerah Memunculkan Politik Dinasti?
 
Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, Tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi.

Menurut Ari Dwipayana, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. “Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.” Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik.

Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural 
Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet.

Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN. 

Ada beberapa hal yang mengakibatkan munculnya Dinasti Politik, yakni Adanya keinginan Dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan.

Adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan Dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok. 

Kolaborasi patron clien antara kekuasaan politik (Pemerintah) dan pemodal (Kapital) untuk mengabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi akan melahirkan cukong Penguasa dan Politik yang tidak berpihak pada hajat rakyat  banyak namun sebagai pelanggeng kekuasaan belaka ini akan melahirkan Dinasti politik dan kapitalis yang berlangsung terus menerus sehingga kekuasaan seperti diwariskan seperti Dinasti patrom klien kerajaan.

Ini harus dicegah, karena kita sudah memasuki masa demokrasi yang sedemikian panjang.

Sejarah republik kita ini sudah cukup matang untuk melahirkan sejarah danperalihan kekuasaan yang tadinya penuh chaos dan berdarah-darah (pada peralihan) kekuasaan Kerajaan dan telah memasuki
 
Adanya Pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan modal sehingga dikhawatirkan mengakibatkan terjadinya pola korupsi baik tersembunyi maupun terang-terangan yang tak berkesesudahan.

Akibat Dari Politik Dinasti ini maka banyak pemimpin lokal menjadi politisi yang mempunyai pengaruh. Sehingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam system pemerintahan. 

Menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.

Konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.

Tentu menjadi sulit untuk mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Politik Dinasti membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Tapi hal sebaliknya pun bisa terjadi, dimana orang yang kompeten menjadi tidak dipakai karena alasan bukan keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas. 

Dipastikan Dinasti politik bukanlah sistem yang tepat unrtuk diterapkan di Negara kita Indonesia, sebab negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.
Diskusi selepas putusan MK bak jamur bertebaran di berbagai forum. Ini baik bagi demokrasi sehingga memunculkan kedewasaan politik dan demokrasi.

Ali Murtono mantan Presiden LEM UII di forum diskusi para aktivis Kampus UII Yogyakarta Selasa malam (17/10) mengingatkan dengan bijak kurang sepakat dengan dengan putusan MK tentang batasan umur Capres yang nantintabisa muka peluang Gibran atau Kaesang jadi calon penguasa Dia mengingatkan tentang filosofi Jawa pada tembang Sinom Sunan Kalijogo, “Ono tulising hyang widhi”
Wong kang sabar lan narimo
Ginanjar dawa umure…
Sugih kadang pawong mitra..
Kinacek ing sasama..
Yen nuju lara wong ikuu

(Aji Setiawan, Sitiran tembang Sunan berisi tentang ajaran luhur,  Meneladani tindakan luhur, Bagi kaliyan hai orang jawa, Insakalijaga inin Agung dari mataram, Yaitu Panembahan Senapati)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *