KOLOM

Betawi Cultural Collaboration

Oleh: Beky Mardani

Revisi UU 29/2007, “Konsep ini merupakan langkah membangun ekosistem kebudayaan di masyarakat dengan peran dan fungsi berbeda. Selain itu, Betawi cultural collaboration akan menjalin dan saling mendukung antara pemerintah pusat, daerah, dan Betawi untuk menempatkan ekonomi global dengan basis budaya.”

Masyarakat Betawi adalah komunitas yang gandrung akan kebersamaan, kolaborasi. Rekam jejak ini terekam dalam perjalanan sejarah bangsa ini sejak prakemerdekaan. Fase kolaborasi kebangsaan Betawi yang diwakili oleh tokohnya M. Rohnyani Soe’oed pada 1928 melahirkan simbol kebangkitan pemuda Indonesia dengan Sumpah Pemuda dan fase kemerdekaan pada 1945 menjadikan bangsa Indonesia memiliki kedaulatan sebagai negara merdeka.

Fase Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, ketika terjadi rongrongan terhadap kemerdekaan, kaum betawi tampil ke depan dengan tokohnya Moffreni Moe’min yang hingga saat ini dikenang dengan peristiwa IKADA 19 September 1945. Selanjutnya, pada fase pembangunan semasa Orde Baru—yang membidani lahirnya Badan Musyawarah (Bamus) Betawi pada 1982—dan fase reformasi, masyarakat Betawi juga kontribusinya dalam menjaga keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dengan begitu, sebelum ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat seperti saat ini, semestinya kolaborasi yang selama ini dilakukan masyarakat Betawi sudah memasuki tahap berkelanjutan dalam bentuk kompensasi pemajuan kebudayaan. Sayangnya, itu belum terwujud karena terjadi stagnansi akibat kekosongan hukum yang mengatur tentang kebetawian, suku asli warga Jakarta serta ketidakjelasan peran dan tanggung jawab antara pemerintah dengan masyarakat Betawi dalam pemajuan kebudayaan Betawi.

Keberlanjutan
Revisi UU 29/2007 menjadi harapan untuk menyambut tahap keberlanjutan sehingga dapat merespons dinamika perkembangan zaman dengan kekhasan budaya yang dimiliki. Masalah ini menjadi isu sentral di komunitas masyarakat yang telah lama mengalami dahaga kemajuan akibat kevakuman perangkat dalam menghadapi tantangan zaman.

Terlepas apa pun bentuknya Jakarta ke depan dalam RUU 29/2007, kota ekonomi global atau lainnya, keberlanjutan masyarakat Betawi atas bangsa dan negara tidak boleh berhenti. Masyarakat Betawi bahkan berkepentingan menopang keberlangsungan jalannya pemerintahan, baik pusat maupun daerah.

Setidaknya ada tiga kepentingan masyarakat Betawi yang patut diakomodasi dalam perumusan RUU 29/2007. Pertama, mencantumkan identitas dan desain kelembagaan Betawi dengan semangat tranparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan organisasinya.

Kedua, mencantumkan kepentingan produktivitas dan keunggulan budaya Betawi dalam menghadapi tantangan global. Ketiga, memastikan peningkatan kualitas sumber daya masyarakat Betawi demi terciptanya kekondusifan iklim daerah, kearifan lokal, dan ekonomi budaya yang menunjang program pemerintah.

Cultural Collaborative
Tidak lama lagi Jakarta akan menjadi kota yang tidak saja heterogen secara nasional, tetapi kota internasional dengan kekhususan ekonomi global dalam rancangan perubahan UU 29/2007. Masyarakat Betawi yang menghuni Jakarta sejak ratusan tahun lalu pun akan bakal terdampak secara langsung.

Setidaknya terdapat lima kendala yang dihadapi masyarakat Betawi: kurangnya komitmen para pihak pemangku kepentingan atas berkembangnya budaya Betawi; tidak adanya pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab; alokasi anggaran tidak memadai; lemahnya koordinasi leading sector pemajuan kebudayaan Betawi; dan ketiadaan mekanisme pengawasan sehingga tak akuntabilitas.

Pendekatan Betawi cultural collaboration dapat menjadi jawaban untuk mengatasi kelima kendala tersebut. Betawi cultural collaboration adalah bentuk kolektivitas antarpihak dengan tujuan memajukan kebudayaan Betawi. Dengan demikian, pendekatan Betawi cultural collaboratif akan membuka peluang menghasilkan solusi kreatif untuk kemajuan budaya karena menekankan stimulus kepada budayawan, seniman, dan pelaku ekonomi kreatif agar turut berperan aktif memajukan kebudayaan secara kolektif dengan pemerintah dan pemangku kepentinyan lainnya dalam membentuk ekosistem budaya Betawi.

Oleh karena itu, keterlibatan semua pihak harus diatur dalam RUU Khusus Jakarta demi terciptanya ekosistem budaya baru yang melahirkan pembangunan manusia Betawi yang lebih berkualitas secara pengetahuan dan teknologi, sistem ekonomi bernapas budaya berkelanjutan, pemerataan pelestarian dan pemajuan budaya, serta memantapkan ketahanan nasional dalam menghadapi ekonomi global.

Konsep ini diyakini berkelindan secara nasional guna mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 karena Kebudayaan Betawi adalah bagian dari nusantara yang berdaulat, maju, dan berkelanjutan. Wallahualam.

Penulis adalah: Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *