KOLOM

Melawan Rasa Takut dan Khawatir

Oleh: Bangnoor Beks

Setiap manusia ditanamkan rasa takut akan sesuatu hal sehingga menyebabkan pola perilaku berubah menyesuaikan dengan penyebab rasa takut itu sendiri. Takut menurut bahasa memiliki beberapa arti yakni : 1). merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana, 2). Takwa, segan dan hormat, 3).tidak berani (berbuat, menempuh, menderita, dan sebagainya), 4). Gelisah, khawatir.

Dalam perspektif psikologis, rasa takut merupakan bagian dari kecemasan. Atkinson memberikan pengertian kecemasan sebagai perasaan tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang kadang-kadang dialami dalam tingkat yang berbeda-beda. Berdasarkan pengertian tersebut, karakteristik rasa takut memiliki tingkatan yang berbeda-beda tergantung pada peristiwa yang dihadapi dan potensi resiko yang dapat dialami oleh seseorang.

Jangan Takut Melawan

Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura, menyampaikan sebuah pidato berjudul, “Siapa Berani, Dia Menang, Siapa Takut, Dia Kalah”. Bemodal keberanian, maka lahirlah bangsa ini. Dengan kata lain, apabila bangsa ini tidak memiliki pahlawan pemberani, barang kali bangsa ini belum merdeka atau masih dijajah.

Selanjutnya, dimasa depan keberanian atau tidak takut melakukan inovasi dan adaptasi menjadi kunci untuk bertahan hidup, demikian sebaliknya. Rasa takut menghambat kemajuan dan pertumbuhan. Mereka pemilik rasa takut pada umumnya bersikap kurang kreatif dan inovatif atau tidak berani memulai sesuatu.

Orang bijak mengatakan, “Jangan takut hidupmu tidak berakhir, namun takutlah hidupmu tidak bermula”. Barangkali mereka lupa atau tidak tahu bahwa tidak ada orang sukses dalam hidup ini yang takut terhadap kesalahan dan kegagalan dari apa yang diperbuatnya. Selama ini diyakini bahwa rasa takut menyebabkan seseorang sulit dan ragu mengambil keputusan atau bertindak, dan tidak jarang akhirnya mereka gagal dalam hidupnya.

Jangan Takut Berkonflik

Konflik yang mampu merangsang perubahan hanyalah konflik yang lazim disebut konflik fungsional. Disini seorang leader/manager/pemimpin dituntut agar berperan besar untuk membuat dan membawa kearah konflik yang fungsional bukan membawa kearah konflik yang desdruktif/merusak.

Konflik yang fungsional akan merangsang organisasi menjadi kritis terhadap perubahan-perubahan yang selalu terjadi baik itu dari dalam (intern) maupun dari luar (ekstern) dan lebih inovatif serta kreatif, sedangkan konflik yang desdruktif (merusak) hanya akan merangsang organisasi menjadi kacau balau dan tidak kooporatif. Kalau kita lihat atau kita tinjau dari sudut pandang tradisional konflik itu hanya akan merusak sehingga harus dihindari bahkan sama halnya dengan irasionalitas, kekerasan dan kehancuran.

Jika dalam suatu organisasi timbul suatu konflik, maka manajemenlah yang dapat memadamkan konflik, seorang leader/manager/pemimpin/dituntut bertindak baik secara administrasi maupun manajemen. Bagaimana seorang leader/manajer bertindak secara administrasi bisa dilihat dari caranya mengatur dan menjalankan penyelenggaraan apa yang dikehendaki suatu organisasi, sedangkan tindakan manajemen dapat dilihat dari bagaimana cara seorang pemimpin dalam mengendalikan, mengarahkan dan memanfaatkan segala faktor dan sumber daya, baik itu manusia, bahan, peralatan dan lain-lain, yang berdasarkan perencanaan yang diperlukan untuk menyelesaikan atau mencapai suatu tujuan.

Hal ini memang bukan tugas yang mudah, dari sini orang akan melihat bahkan dapat menilai peranan seorang pemimpin khususnya pemimpin hirarki yang berperan sebagai wasit atas pemutus pertentangan dalam organisasi secara efektif. Didalam melaksanakan tugasnya pemimpin yang satu dengan yang lainnya selalu ada perbedaan-perbedaan tertentu. Sikap dan tindak tanduk seorang pemimpin akan terlihat justru dalam caranya melakukan pekerjaan kepemimpinannya (leadership).

Takut Kepada Manusia

Seorang yang takut kepada manusia biasanya berperilaku penjilat, penjilat karakternya lebih dekat ke munafik.

Rasullullah SAW bersabda : “Menjilat bukanlah termasuk karakteristik moral seorang mukmin.” Budaya menjilat bukan budaya seorang mukmin. Bahkan, sebenarnya budaya ini lebih dekat pada karakter seorang munafik.

Seorang penjilat sejatinya sedang membohongi dirinya sendiri. Apa yang dilakukannya berlawanan dengan lubuk hatinya yang paling dalam. Ia rela melakukan apa saja secara berlebihan demi mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang yang dijilatnya. Biasanya yang menjadi korban penjilat adalah mereka yang tergolong mapan dan superior, seperti atasan, pimpinan, pemegang kekuasaan dan keputusan.

Salah satu sifat buruk yang dibenci Allah SWT adalah munafik. Sabda Rasulullah SAW, ”Kalian pasti akan bertemu dengan orang-orang yang paling Allah benci, yaitu mereka yang bermuka dua. Di satu kesempatan, mereka memperlihatkan satu sisi muka, namun di kala yang lain, mereka memperlihatkan muka yang lain pula.” (HR Bukhari-Muslim).

(Penulis adalah Sekretaris IMANI Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *