Ketum SIB: Majelis Amanah Persatuan Kaum Betawi Hanya Bersifat Sementara dan Ditugaskan untuk Menghantarkan Pelaksanaan Mubes VIII
Jakarta, penapersatuan.com – Setelah melalui proses yang lumayan panjang, akhirnya penyatuan dua Badan yang menaungi berbagai organisasi etnis di Jakarta, Badan Musyawarah (Bamus) Betawi dan Bamus Betawi 1982 akhirnya terjadi pada saat Jakarta dipimpin oleh Pj Gubernur Heru Budi Hartono.
Acara yang digelar di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis siang (22/12/2022) tersebut selain deklarasi Majelis Amanah Masyarakat Betawi, Deputi Gubernur Bidang Pariwisata Marullah Matali bakal dilantik menjadi pimpinan Majelis Amanah Masyarakat Betawi.
Deklarasi tersebut mendapat apresiasi dari tokoh Betawi yang juga Ketua Umum Seniman Intelektual Betawi (SIB) Tahyudin Aditya. Tahyudin mengatakan, Majelis Amanah Persatuan Kaum Betawi yang terbentuk itu hanya bersifat sementara atau Ad Hoc.
“Tugasnya hanya mengantarkan dua Bamus untuk menggelar Mubes VIII yang akan diselenggarakan pada tahun 2023 mendatang,” tambah Tahyudin.
Ketum SIB itu juga merasa senang dengan adanya Majelis yang diamanatkan ke Marullah Matali. Mantan Sekda Provinsi DKI Jakarta itu menurut Tahyudin dikenal tokoh yang jujur, netral, amanah dan religius sehingga dapat diterima oleh semua pihak.
Sebagai tokoh Betawi, dirinya menilai nama Bamus Betawi memiliki sejarah atau histori tersendiri. Jadi menurutnya, nama Bamus Betawi tidak boleh diganti begitu saja. “Tidak mungkin hanya karena ada konflik dualisme, harus membubarkan organisasi Bamus Betawi. Itu sama saja ibarat menangkap tikus dengan cara membakar lumbung padinya,” ujar Tahyudin saat ditemui penapersatuan.com baru-baru ini.
Karena, masih kata Tahyudin, jika hal ini dipaksakan, maka akan kembali terulang setiap tahun hal yang sama. Hal tersebut juga pernah disampaikan menjelang Mubes VIII Bamus Betawi dan Bamus Suku Betawi 1982 pada saat silaturahmi ke Pj Gubernur DKI Jakarta.
“Silaturahmi Bamus Betawi dengan Ketua Umum H. Riano P Ahmad dan Bamus Suku Betawi 1982 dengan Ketua Umum H. Zainuddin ke Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono pada Selasa (6/12/2022) di Balaikota DKI Jakarta, adalah peristiwa yang lazim dilakukan kepada pejabat baru dalam rangka silaturahmi dan mengenalkan diri sebagai adab ketimuran, serta menyampaikan visi-misi serta dinamika organisasi,” bebernya.
Menurut Tahyudin, dalam menyikapi wacana islah atau bersatunya kembali dalam tubuh Bamus Betawi, perlu kita refleksi dan mengingat peristiwa 4 tahun yang lalu. Dimana konflik yang terjadi saat Mubes VII yang dihelat pada hari Minggu (2/9/2018) dan dihadiri 106 Ormas anggota Bamus Betawi adalah peristiwa biasa, sebagaimana terjadi pada organisasi lain baik dalam forum Mubes, Muktamar, Kongres dan lainnya.
“Konflik yang terjadi saat Mubes Bamus Betawi, terjadi karena ada dua pandangan dan pendapat yang berbeda saat pembahasan. Ketua Umum Bamus Betawi dipilih dan ditetapkan oleh Majelis Adat Betawi dalam Mubes,” ungkap Tahyudin.
Sementara, lanjut Tahyudin, 2/3 dari peserta Mubes menginginkan adanya perubahan, yakni Ketua Umum Bamus Betawi dipilih dan ditetapkan oleh peserta Mubes. Pada ayat ini, 2 Pendapat saling berargumentasi dan cukup alot yang akhirnya pimpinan sidang menginisiasi untuk diputuskan secara voting. Karena dengan cara bermusyawarah sudah tidak ada titik temu, akhirnya pimpinan sidang komisi bertanya kepada peserta Mubes.
Dengan lantang pimpinan sidang berkata, ‘yang siap untuk voting berdiri’. namun hal ini rupanya tidak diterima oleh pihak yang berbeda pendapat. Akhirnya mereka keluar meninggalkan rapat (Walk Out) dan yang di dalam ruangan rapat masih ada sebanyak 80% peserta atau lebih dari 2/3. Sehingga rapat dilanjutkan karena dinyatakan kuorum.
Sementara, organisasi yang menyatakan Walk Out selanjutnya menyatakan diri menolak hasil Mubes VII dan beberapa minggu kemudian menggelar Mubes di kawasan Ancol yang melahirkan organisasi baru, dengan nama Perkumpulan Musyawarah Masyarakat Suku Betawi Sembilan Belas Delapan Dua dengan nahkoda H. Zainuddin yang kerap disapa H. Oding, maka dengan digelarnya Mubes Ancol dan melahirkan nama baru, sejatinya konflik berakhir.
“Konflik yang terjadi di tubuh Bamus seharusnya tidak perlu melibatkan pihak luar yang menjadi konsumsi publik dan menjadi komoditas politik di parlemen termasuk pemerintah. Karena, konflik akan berakhir sendiri saat digelar Musyawarah Besar berikutnya, tingal bagaimana H. Oding CS mau hadir atau tidak, dan berjuang kembali sesuai harapannya,” kenang Tahyudin.
Karena, masih dalam penjelasan Tahyudin, dalam Mubes diperlukan keputusan cerdas untuk dipersembahkan kepada masyarakat Betawi dan masyarakat Jakarta umumnya. Tidak perlu Bamus Betawi berganti nama sebagaimana yang diwacanakan.
Pergantian nama organisasi tidak menjadi penting selama watak dan karakter pengurus organisasi tidak berubah. Dengan mengganti Bamus Betawi, maka akan menghilangkan nilai-nilai historisnya. Mengganti nama adalah cara kolonialisme dalam menghapus sejarah dan peradaban, sebagaimana yang terjadi pada etnis Betawi.
Yang diperlukan adalah, adanya kesadaran dan sikap dewasa untuk membangun masyarakat Betawi sesuai dengan cita-cita Bamus Betawi yang didirikan oleh para tokoh-tokoh terdahulu. Kalaupun Bamus Betawi harus berganti nama, AD/ART Bamus Betawi sudah mengatur di dalam pasal-pasalnya dan itu dilakukan dalam Mubes atau bila perlu digelar Musyawarah Luar Biasa (Mubeslub).
“Konflik yang terjadi harus menjadi pelajaran penting bagi kita semua, jangan karena konflik lalu ada gagasan bikin organisasi baru atau tandingan lalu yang lama dibubarkan. Kalua hal ini dilakukan dan dituruti, maka setiap Mubes akan selalu terjadi konflik yang sama. Lalu kapan organisasi berbuat untuk kemaslahatan bagi anggota dan masyarakat,” ujar Ketum SIB tersebut.
Tahyudin juga mengatakan, kita rasakan bagaimana konflik sangat menguras energi dan perhatian, sehingga pencapain tujuan serta apa yang menjadi cita-cita tidak dapat dilaksanakan secara maksimal.
“Saya sebagai generasi muda hanya dapat berdoa, semoga para sesepuh Betawi dapat menjadi suri tauladan serta perekat dan menjadi orang tua yang bijaksana dan adil bagi kaum muda. Yang muda pun harus agresif serta peka terhadap kebutuhan masyarakat Betawi,” pungkas Tahyudin Aditya.
(Fahmi)