Mengenang Santri yang Menjaga Harkat Kemanudiaan, Kenalilah Gus Dur
Oleh: Aji Setiawan
Bulan Desember adalah wafatnya Gus Dur , perhitungan Miladiyah kalender Masehi Desember mendatang 13 Tahun Gus Dur wafat. Sosok santri yang mencapai puncak jabatan tertinggi di Republik Indonesia adalah saat Gus Dur , Abdurahman Wahid menjadi Presiden RI menggantikan Habibie lewat pertarungan voting dan berasal dari poros tengah. Sebuah kemenangan poros tengah yang memang penuh pernak-pernik mewarnai proses jalannya pesta demokrasi di penghujung 1999 an.
Gus Dur adalah cucu al Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) , putra KH Wachid Hasyim, mentri Agama pertama setelah Indonesia merdeka. Tema hari santri tahun ini adalah menjaga Martabat Kemanusiaan. Gaung pergerakan akan nilai-nilai kemanusiaan dapat dengan mudah ditemui oleh sebagian aktivis Nahdlatul Ulama pada sosok mantan Ketua PBNU dan Presiden RI yakni Abdurahman Wachid atau Gus Dur.
Sebagai santri, Gus Dur lewat tulisan-tulisannya yang sangat produktif (tak kurang 30 buku) menggaungkan perjuangan demi penegakan dan pemenuhan HAM seharusnya menjadi momentum bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, yang jauh dari penindasan, pertumpahan darah, kekerasan, dan kezaliman.
Al-Quran sendiri dengan tegas menyatakan bahwa menghalang-halangi upaya penegakan keadilan merupakan perbuatan orang-orang kafir.
”Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka ’gembirakanlah’ mereka dengan siksa yang pedih” (QS. Âli Imrân, 3: 21).
Masalah kemanusiaan, ditempatkan oleh Gus Dur merupakan tuntutan dan tanggung-jawab bersama tanpa pandang bulu (mas-ûliyyah insâniyyah). Dalam hukum Islam juga dikenal lima prinsip universal (kulliyyât al-khams) yang dijadikan pertimbangan bagi para ahli fikih dan hukum Islam dalam menetapkan produk hukum yaitu: hifzh ad-dîn, hifzh an-nafs, hifzh al’aql, hifzh al-mâl, dan hifzh al-’irdh wa an-nasl.
NU dan pluralisme, Gus Dur berpindirian bahwa Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, memiliki makna dan fungsi universal, suci, fitri, hanif serta dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh umat manusia. Ragam ras, budaya, agama, aliran dan lainnya dipahami Islam sebagai sunnatullah.
Pluralitas adalah rahmatullah bahkan amanah ilahiyah dan kemanusiaan yang harus dimaknai dan disikapi dengan saling mengenal, memahami, membuka diri, merangkul dan mendialogkan secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama atas dasar saling menghormati. NU berpendirian bahwa realitas kehidupan harus dilihat secara substantif, fungsional, terbuka, dan bersahabat.
Sejak berdiri pada 1926, NU menempatkan kepentingan masyarakat Islam sebagai orientasi besar gerakannya. Cita-cita tersebut secara sistematik terformulasikan dalam mabadi’ khaira ummah. Secara etimologi, mabadi’ khaira ummah terdiri dari tiga kata bahasa Arab. Pertama, mabadi’ yang artinya landasan, dasar, dan prinsip. Kedua, khaira yang artinya terbaik, ideal. Ketiga, ummah yang artinya masyarakat, dan rakyat. Sedangkan secara epistemologi, mabadi’ khaira ummah adalah prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengupayakan terbentuknya tatanan kehidupan masyarakat yang ideal dan terbaik, yaitu masyarakat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi munkar.
Allah berfirman, “jadilah engkau sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia mengajak kebaikan dan mencegah keburukan. Dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110) [PP LTN NU, 1992: 77]
Ide NU untuk mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik (khaira ummah) sebenarnya telah diupayakan sejak tahun 1935. Pada saat itu para tokoh NU berpendapat bahwa proses pembentukan masyarakat yang ideal dan terbaik dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai al-shidq (kejujuran), al-wafa’ bi al-‘ahd (komitmen) dan al-ta’awun (komunikatif dan solutif). Tiga prinsip dasar itu kemudian disebut mabadi’ khaira ummah dan menjadi program kerja organisasi.
Perkembangan zaman yang cukup pesat memaksa para ulama untuk melakukan evaluasi kerja. Pada Munas Alim Ulama di Bandar Lampung tanggal 21—25 Januari 1992, para ulama menyepakati untuk melakukan penyempurnaan terhadap tiga butir mabadi’ khaira ummah dengan menambah prinsip al-istiqamah (kontinuitas/konsistensi) dan al-‘adalah (tegas menegakkan keadilan). NU berkeyakinan bahwa lima prinsip tersebut merupakan langkah alternatif dan prospektif bagi upaya mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik di Indonesia.
Penulis adalah: demisioner Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia KH Wachid Hasyim, Universitas Islam Indonesia, mantan anggota litbang PMII Cabang Jogja, 2 periode