NASIONALTOKOH

KH. Noer Alie, Singa Karawang Bekasi


Penapersatuan.com – Salah satu Pahlawan Nasional dari Bekasi Utara yakni KH. Noer Alie memang bukan ulama sembarangan, sebagai guru tempat menimba ilmu agama, tapi juga seorang pejuang melawan penindasan penjajah Belanda di masanya.

Belanda menjuluki KH. Noer Alie dengan sebutan Singa Karawang-Bekasi karena selain mendirikan dan melakukan pendidikan melalui pesantren, beliau juga memimpin pergerakan perang gerilya.

Nama KH. Noer Alie saat ini menjadi salah satu jalan utama  yang menghubungkan Bekasi dengan Jakarta, namun mungkin banyak yang bertanya-tanya siapa sosok K.H. Noer Alie tersebut dan apa perannya di Bekasi hingga namanya diabadikan menjadi nama jalan.

Kiayi Haji Noer Alie adalah putera dari Anwar bin Layu dan Maimunah binti Tarbin. Noer Alie anak keempat dari sepuluh saudara. Kakaknya bernama H. Thoyib, Hj. Arfah, dan Hj. Ma’anih. Adiknya Hj. Marhamah, H. Marzuki, KH. Muhyidin, Mujtaba, dan Hj. Hasanah.

Haji Noer Alie mendapat pondasi ilmu agama Islam yang kukuh sejak berumur tujuh tahun, dimana ia berguru ilmu agama Islam ke ulama-ulama tersohor, misalnya belajar ke Guru Maksum di Bekasi dan Guru Mughni di Jakarta. Sampai akhirnya saat remaja Noer Alie menyempurnakan ilmu agamanya dengan ‘nyantri’ ke Kota Mekkah.

Sambil belajar ilmu agama, Haji Noer Alie juga mempelajari ilmu-ilmu beladiri, berkuda dan berburu musang kala hewan masih menjadi hama di kalangan petani. Pada akhirnya semangat belajarnya yang tinggi membuat ia berguru sampai tanah suci. Beberapa ulama di lingkungan Masjidil Haram jadi gurunya.

Saat berguru ke Mekkah itu, usia Haji Noer Alie masih menginjak 20 tahun. Di sana ia menuntut ilmu di Madrasah Darul Ulum. “Dia berguru hampir semua ilmu, Hadist, Fiqih, Nahwu atau sastra, dan ilmu mantiq,” ungkap Sejarawan Bekasi, Ali Anwar dilansir dari merdeka.com.

Noer Alie muda memutuskan kembali ke Tanah Air pada 1939 setelah mendapat kabar negerinya ditindas kaum penjajah. Dia mulai membangun pesantren kala itu. Pendidikan formal dan agama mulai dibangun untuk melawan kebodohan dari para penjajah.

Perjuangannya dimulai saat ia mendirikan madrasah, dimana kemudian beberapa santrinya dipersilakan bergabung kepada himpunan pasukan musuh. Untuk mencuri ilmu bertempur Heiho (pembantu prajurit), Keibodan (barisan pembantu polisi).

Di sisi lain, seorang santrinya bernama Marzuki Alam, dipersilakan mengikuti latihan kemiliteran Pembela Tanah Air (Peta). Dia menggelorakan kepada santrinya untuk mengangkat senjata.

Pada bulan November 1945, KH. Noer Alie membentuk Laskar Rakyat. Seluruh badal (pasukan) dan santrinya diperintahkan menghentikan proses belajar-mengajar untuk mendukung perjuangan. Kondisi negara sedang berada dalam puncak posisi kemerdekaan. Namun, beberapa ancaman mulai terlihat.

Dia kemudian mengeluarkan fatwa ‘wajib hukumnya berjuang melawan penjajah’. Dalam waktu singkat, Laskar Rakyat berhasil menghimpun sekitar 200 orang yang merupakan gabungan para santri dan pemuda sekitar Babelan, Tarumajaya, Cilincing, Muaragembong.

Mereka dilatih mental oleh KH. Noer Alie dan secara fisik dilatih dasar-dasar kemiliteran oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Bekasi dan Jatinegara.

Ia memang sakti, sekalipun sudah terjepit dan diberondong senapan penjajah, ia selalu lolos, konon ia menguasai ilmu belut putih dan rawa rontek. Di mana pada kondisi tertentu, ia bisa menghilangkan  jejak cepat, baik menyebutkan diri ke sungai atau bergerak cepat di balik pohon-pohon, karena pada waktu itu, kawasan Bekasi, di kanan kiri jalan masih banyak pohon rimbun.

Tahun 1956, ia diangkat menjadi anggota Dewan Konstituante dan tahun 1957 menjadi anggota Pimpinan Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim Perumus Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat.

Pada tahun 1962, Kiai Noer Alie mendirikan sejumlah sekolah setingkat SMP dan SMA di bawah naungan Yayasan At-Taqwa. Dua tahun kemudian, berdirilah madrasah yang khusus Muslimah.

Walau mundur dari dunia politik, nama KH. Noer Alie tetap saja masuk dalam pusaran prahara menjelang G-30-S. Pada 1963, ulama sepuh itu hampir ditangkap lantaran dituding mendukung DI/TII. Bahkan, Pesantren At-Taqwa sempat dikepung sejumlah aparat.

KH. Noer Alie tidak takut sedikit pun. “Sekarang kita geledah kampung ini. Kalau terdapat anggota DI, tembak saya. Tapi kalau enggak dapat, ente yang ana tembak,” tegas Kiai Noer Alie kepada sejumlah petugas yang hendak memeriksa pesantrennya. Kontan saja, mereka mundur ke belakang.

Di era Orde Baru, KH. Noer Alie semakin fokus pada pendidikan agama di Indonesia. Pada Maret 1972, dia ikut dalam Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Akhirnya, dia didaulat menjadi Ketua Umum badan tersebut.

Semangatnya membela Islam tidak pernah padam. Terbukti, pada era Orde Baru. Masa 1980-an, misalnya, mulai muncul larangan jilbab di sekolah-sekolah. KH. Noer Alie pun mengusung fatwa tentang busana Muslimah, yang intinya menolak pelarangan jilbab.

Kasus lain lalu muncul, yakni prokontra RUU Perkawinan pada 1973. Untuk mengawal rencana legislasi itu, KH. Noer Alie mengerahkan tidak kurang dari seribu ulama dari Pesantren Asy-Syafi’iyah, Jatiwaringin.

Mereka dihimbaunya untuk bersumpah memperjuangkan jalannya RUU itu agar selaras dengan kaidah Islam. Perjuangan sang kiai juga tampak jelas dalam upaya menentang perjudian, semisal SDSB.

Tahun 1971-1975 menjadi Ketua MUI Jawa Barat. Di samping itu, sejak 1972 menjadi Ketua Umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, ia bersikap sebagai pendamai, tidak pro satu aliran. Dengan para kiai Muhammadiyah, NU, maupun Persis, ia bersikap baik.

KH. Noer Alie meninggal dan di makamkan di desa Ujung Harapan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat pada 29 Januari 1992. Beliau dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional pada 3 November 2006 melalui Keppres No. 85/TK/2006.

Estafet kepemimpinan pondok pesantren dilanjutkan oleh KH. Amin Nur (wafat 8 Juli 2021). Kini Pimpinan Umum Pesantren At-Taqwa Putra, diasuh oleh KH. Husnul Amal Masud, merupakan cucu mendiang KH. Noer Alie.

(Aji Setiawan, mantan wartawan alKisah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *