Arsitektur APBN 2023, Antara Optimis dan Waspada
Oleh: Aji Setiawan
Arsitektur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 dirancang dengan semangat optimisme namun tetap waspada. Pertumbuhan ekonomi yang impresif hingga 5,44 persen pada triwulan II 2022 serta inflasi yang terjaga pada level moderat 4,94 persen per Juli 2022, menjadi landasan optimisme dalam merancang kebijakan fiskal untuk tahun mendatang.
Pada postur RAPBN 2023, anggaran belanja negara mencapai Rp3.041,7 triliun yang meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.230 triliun atau turun dari outlook tahun 2022 yang sebesar Rp.2.370 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp811,7 triliun. Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan belanja pemerintah di 2023 memang sudah semestinya turun. Hal ini sejalan dengan fungsi kebijakan fiskal yang kontra siklus.
“Jadi nggak ada keperluan untuk government spending untuk kebijakan fiskal ini ekspansif seperti saat pandemi. Kenapa harus demikian mekanismenya? Karena kalau government expenditure ini terus-terusan jor-joran, kita akan memiliki postur fiskal yang jebol dan nggak sustainable. Makanya, saat mesin ekonominya ini sudah mulai pulih, maka kita perlu ada efisiensi di postur fiskal kita,” beber Riefky.
Sementara Ekonom Indef Abra Talattov memandang postur penerimaan dan belanja negara di RAPBN 2023 menunjukkan sinyal positif konsistensi pemerintah untuk menurunkan defisit APBN di bawah 3 persen.
“Kalau kita lihat dari postur RAPBN 2023, rasanya ini sudah dipenuhi. Jadi, di satu sisi kita bisa mendapatkan momentum penyehatan anggaran negara tadi. Di sisi kedua, kita tidak meluputkan kebutuhan-kebutuhan yang memang perlu dipenuhi oleh anggaran fiskal kita,” papar Riefky.
Secara alokasi anggaran, Riefky memandang prioritas pemerintah sudah berada dalam indikator-indikator yang tepat.
“Kita melihat anggaran pendidikan itu 600,8 triliun, anggaran kesehatan 169,8 triliun, perlinsos mencapai 479 triliun. Ini saya rasa fokusnya pemerintah sudah cukup tepat dalam menyasar isu-isu dasar. Tinggal nanti bagaimana dalam implementasinya,” ujar Riefky.
Anggaran perlindungan sosial menurut Abra merupakan salah satu pos belanja prioritas pemerintah untuk dapat menahan risiko inflasi, serta meringankan beban terutama bagi keluarga miskin dan rentan.
“Kita harapkan anggaran perlindungan sosial ini bisa lebih spesifik juga salah satunya untuk menangkal atau mengantisipasi risiko terjadinya inflasi yang tinggi di tahun depan, khususnya karena adanya penyesuaian harga-harga yang diatur pemerintah, baik itu energi maupun non energi,” ungkap Abra.
Terkait anggaran kesehatan 2023, pemerintah mengalokasikan sebesar Rp169,8 triliun atau 5,6 persen dari belanja negara. Hal itu ditujukan untuk memperbaiki pelayanan dan reformasi pada sistem kesehatan, mempercepat penurunan prevalensi stunting, serta menjaga kesinambungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Riefky berpendapat, meningkatnya anggaran kesehatan reguler menggambarkan fokus pemerintah untuk membangun resiliensi kesehatan secara lebih luas lagi sebagai produktivitas dalam jangka panjang.
“Nah ini penting, kalau ini tidak bisa dilakukan, kita akan menghadapi produktivitas yang terus menurun atau paling tidak yang terus terjadi kesenjangan,” terang Riefky.
Sementara, anggaran terbesar dialokasikan untuk sektor pendidikan yakni sebesar Rp608,3 triliun yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia agar berdaya saing dan mampu beradaptasi pasca pandemi. Namun menurut Abra, belanja pendidikan sebagai mandatory spending juga perlu diimbangi dengan kualitas pendidikan yang memadai.
“Walaupun dari tahun ke tahun sudah mulai meningkat, tetapi masih butuh effort lagi untuk mendorong SDM kita lebih unggul sehingga bukan hanya kita bisa bersaing di dalam negeri, tetapi juga di level global. Ini juga menjadi mandat konstitusi terkait dengan tujuan kenapa anggaran pendidikan dikunci sebesar 20% terhadap APBN atau APBD,” ungkap Abra.
Untuk menjalankan berbagai program belanja tersebut, maka penerimaan negara tahun 2023 ditargetkan sebesar Rp2.443,6 triliun. Terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.016,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp426,3 triliun. Peningkatan penerimaan negara dilakukan dalam bentuk optimalisasi penerimaan pajak maupun reformasi pengelolaan PNBP. Menurut Abra, target penerimaan yang cukup konservatif tersebut didorong oleh alokasi belanja yang efisien.
“Penerimaan perpajakan juga seharusnya masih on the right track, penerimaan PPh, PPN, dan sumber-sumber perpajakan lain itu kita harapkan masih akan positif selama lagi-lagi pemerintah mampu melakukan upaya stabilisasi inflasi,” ungkap Abra.
Senada, Riefky juga mengemukakan pentingnya pengelolaan penerimaan dan belanja negara secara proporsional.
“Ini sebetulnya adalah momentum yang tepat untuk pemerintah misalnya mengoptimumkan penerimaan dari sisi PPh, PPN yang juga sudah diatur dalam UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan),” papar Riefky.
Tanpa Hutang
Perputaran roda ekonomi pasca Pandemi, konflik Ukrania , Perubahan Iklim serta persoalan ancaman resesi global. Semakin membuat roda perekonomian Indonesia semakin berat.
Beban APBN 2022 yang terus defisit harus dicarikan jalan keluarnya. Keluar dari mainstream logika anggaran adalah bagaimana menciptakan sebuah rancangan yang tidak meleset dari defisit tiap tahun. Artinya perlu usaha ekstra kerja keras, memperbesar pendapatan dan menekan angka pengeluaran. Menghitung pengeluaran pokok yang realistis dan ditambah program percepatan ekonomi.
Negara harus hadir untuk memback up ekonomi rakyat sebagaimana amanah Konstitusi pasal 33 UUD 1945. Karenanya, usaha kebangkitan ekonomi Intinya adalah bagaimana mencari titik pijak kebangkitan ekonomi (Quantum economic).
Lompatan percepatan pertumbuhan ekonomi bisa dilakukan agar pendapatan nasional ada melalui obligasi, investasi, industri makanan minuman, ekonomi kreatif dan pariwisata, agroindustri pertanian dan peternakan, pembangunan kawasan ekonomi halal (halal food centre). Kemudian, ekonomi syariah, ekonomi maritim (nelayan) dan kawasan pesisir, UMKM serta berbagai lapangan usaha produktif yang melibatkan peran serta kalangan produktif dari kaum.
Pengangguran dan miskin (10,9 juta) itu menjadi prioritas utama dari pembangunan. Ghalibnya negara harus memutar cara keluar dari ketergantungan energi bumi dan gas, menuju pembangunan berkelanjutan dengan pemanfaatan energi terbarukan sebagai salah satu upaya untuk keluar dari hutang sembari berusaha penuh untuk tidak saja mencicil dan bunga.
Tapi bila perlu menyudahi hutang luar negeri dengan cara melakukan skenario ulang melalui kerjasama bilateral, multilateral serta internasional. Bentuknya bisa korting utang, rescheduling bahkan pengumpulan dana (pendapatan) untuk melunasi hutang dalam jangka waktu tertentu (perlulah dibentuk Badan Pelunasan Utang Luar Negeri).
Isu pembangunan infrastruktur dan utang kembali muncul ke permukaan, dan telah menjadi bahan diskusi di tengah-tengah masyarakat. Kemunculan isu ini diawali banyak pasangan Capres-Cawapres yang menggagas pembangunan infrastruktur tanpa utang. Dalam artian pemerintah membangun infrastruktur tanpa berutang atau membebani APBN. Tak pelak lagi, karena mengandung muatan politik, gagasan ini pun menuai kontroversi di masyarakat, ada yang pro dan ada pula yang kontra.
Di samping isu politik, gagasan ini memang wajar dipertanyakan kelayakan implementasinya masyarakat. Hal ini tak lain disebabkan kondisi kemampuan APBN yang terbatas. Sejak krisis ekonomi dan keuangan 1997/1998, APBN mengalami defisit anggaran. Di mana pengeluaran lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh.
Bahkan APBN mengalami defisit primary balance, artinya pendapatan negara tidak cukup men-cover pengeluaran pembayaran bunga utang. Namun, pada intinya masyarakat mempertanyakan bagaimana strategi infrastruktur dibangun tanpa berutang?
Gagasan membangun tanpa berutang mendapat tanggapan positif dari Menteri Keuangan, dan mendukung atas implementasi gagasan ini karena dapat menyehatkan perekonomian dan keuangan Indonesia. Membangun tanpa utang diartikan swasta yang membangun infrastruktur, dan ini merupakan hal yang digadang-gadang dalam pembangunan ekonomi yang sehat. Ekonomi tidak tergantung pada stimulus APBN.
Beban pembayaran bunga utang pemerintah Indonesia yang meningkat dua kali lipat dalam lima tahun terakhir dinilai mengurangi kapasitas APBN untuk memacu pertumbuhan ekonomi guna menghindarkan diri dari arus resesi global. Apalagi, utang negara selama ini tidak hanya digunakan untuk menutup defisit, tetapi juga dimanfaatkan untuk membayar utang atau gali lubang tutup lubang.
Pola seperti itu diperkirakan masih akan berlangsung dalam lima tahun ke depan, sehingga Indonesia berpeluang terperosok dalam lubang utang yang lebih dalam. Peneliti Perkumpulan Prakarsa, Irvan Tengku Hardja, menilai RAPBN 2023 penuh tantangan karena disusun di tengah-tengah ancaman resesi global akibat perang Ukrania-Rusia, Badai Pandemi dan perubahan iklim.
Makanya, sebenarnya kita membutuhkan rancangan anggaran yang mampu menjawab tantangan global, terutama tren perlambatan ekonomi, bahkan resesi ekonomi global tengah mengancam negara maju. Untuk itu perlu kebutuhan RAPBN yang yang lentur dan memihak rakyat kecil.
Menurut ekonom senior Indef, Didik Rachbini, RAPBN 2020 masih dihantui permasalahan dari lima tahun lalu. Pemerintah selama ini selalu mengandalkan utang untuk menutup defisit. “APBN kita punya masalah dari penerimaan. Sangat rendah dan paling rendah di ASEAN, pengeluaran kita boros-boros, dan tidak berhasil dipakai. Ini akan bermasalah lima tahun mendatang,” ungkap Didik.
Didik mengakui pemerintah sah-sah saja berutang. Namun yang mengkhawatirkan, utang itu tidak hanya untuk membiayai pengeluaran APBN, tetapi juga membayar utang yang sudah jatuh tempo. Apalagi saat ini bunga utang Indonesia sudah menyentuh angka 300 triliun rupiah. Cicilan hutang 502 T.”Utang juga untuk membayar cicilan dan bunga utang. Ini ada problem pengeluaran. Ini sangat jelek,” tukas dia.
Terkait penerimaan negara, Tengku mengatakan sebagian besar kalangan pesimistis target pendapatan dalam anggaran negara akan tercapai, begitu juga target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen pada tahun ini. “Tahun ini, defisit APBN bakal melebar. Ditutup utang lagi. Tripple defisit kita belum sembuh, masak target penerimaan bisa sangat optimis begitu,” kata Tengku.
Menurut dia, dengan komposisi APBN yang masih tradisional, atau masih banyak untuk anggaran rutin dan sama dari tahun ke tahun, maka sulit diharapkan untuk memberikan daya dorong bagi perekonomian nasional. “Padahal, Indonesia yang lagi dihimpit perang dagang, butuh spesial anggaran untuk lepas dari ancaman resesi serta memanfaatkan semua momentum yang ada,” tukas Tengku.
Didik juga mengungkapkan bahwa selama ini belanja pemerintah kurang efektif dan bermanfaat. Belanja Pegawai mencapai 2000 T dan untuk belanja barang pun sama, yaitu dari 200 triliun rupiah menjadi sekitar 300 triliun rupiah. “Belanja pegawai dan kantor itu menghabiskan ratusan triliun untuk pegawai. Tidak ada hubungannya dengan pembangunan,” tegas Didik.
Alternatif tidak menggantungkan campur tangan APBN adalah membangun dengan sumber pembiayaan yang berasal dari investor swasta melalui skema kerja sama dengan swasta. Terkait dengan skema ini, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) dalam Perpres No.38 Tahun 2015. Bahkan skema kerja sama ini sebenarnya yang hal yang baru mengingat kebijakan kerja sama ini telah lama dikeluarkan, tepatnya sejak 2005 melalui Perpres No. 67 Tahun 2005.
Dalam skema ini, sama dengan BUMN, swasta dapat menggunakan dana dari ekuitas dan pinjamannya untuk membangun, mengoperasikan, dan memelihara infrastruktur. Infrastruktur akan ditransfer kepada pemerintah apabila masa konsesi telah selesai.
Selain dua cara di atas. Cara lainnya yang dapat digunakan adalah pembiayaan dari badan usaha melalui skema pemberian insentif perpajakan. Badan usaha dapat membangun, mengoperasikan, dan memelihara infrastruktur ekonomi seperti asetnya sendiri, seperti bisnis normal biasa.
Pemerintah memberikan insentif tax holiday sebagaimana diatur dalam PMK No. 150/PMK.010/2018. Pajak terutang badan usaha akan dibebaskan 100% selama waktu tertentu tergantung pada nilai investasi yang telah dikeluarkan oleh badan usaha tersebut.
Tidak Gampang
Uraian di atas menjawab bahwa apa yang digagas bukanlah sekedar cuap-cuap atau omong kosong. Namun demikian, gagasan tersebut bukanlah hal yang gampang dilaksanakan sebagaimana telah dijalankan pemerintah saat ini. Berbagai persoalan akan menghadang dan menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaannya.
Salah satu persoalan utama dalam menggandeng swasta adalah kelayakan investasi proyek infrastruktur yang ditawarkan kepada swasta itu sendiri. Logika bisnis menyatakan swasta akan tertarik dalam pembangunan infrastruktur apabila memberikan hasil investasi (return) yang wajar dan risiko yang dapat diterima, tanpa diundang pun swasta akan masuk. Swasta tidak mungkin tertarik pada proyek infrastruktur yang memberikan return yang kurang wajar, apalagi pada proyek yang tidak memberikan pendapatan sama sekali.
Sayangnya, infrastruktur yang menjadi target pembangunan pemerintah adalah infrastruktur yang pada umumnya kurang profitable atau “kurang wajar”. Hal yang wajar mengingat infrastruktur dibangun untuk tujuan pemerataan pembangunan, atau ditempat yang demand-nya kurang dalam jangka pendek. Pemerintah tampaknya memahami persoalan kekuranglayakan return yang diinginkan dan risiko yang dapat diterima investor swasta.
Kurang masuk akal apabila pemerintah menawarkan proyek infrastruktur yang return-nya nol. Pemerintah akan menawarkan proyek dengan return kurang layak, dan memberikan beberapa fasilitas insentif untuk mendongkrak tingkat return, dari kurang layak menjadi layak.
Dalam skema KPBU, pemerintah dapat memberikan fasilitas bantuan sebagian konstruksi melalui viability gap fund (VGF), jaminan pemerintah, dan availibility payment. Sementara itu, dalam skema insentif pajak, pemerintah memberikan tax holiday sebagaimana telah disebutkan di atas.
Di samping permasalahan return, iklim usaha di Indonesia juga faktor yang harus dipertimbangkan. Karena sangat berkaitan erat dengan risiko kepastian usaha (uncertainty). Investor swasta dapat diibaratkan seperti pembeli, dapat memilih di mana dan apa saja yang dikehendaki dalam berinvestasi.
Mereka dapat memilih Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina, Vietnam, dan negara lainnya dengan bebas sebagai tempat investasinya. Logikanya, negara yang mampu memberikan iklim usaha yang baik akan menjadi pilihan investor swasta.
Aji Setiawan,ST
Penulis, alumnus Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia