Tantangan Dunia Pers Pasca Pandemi Covid 19
Oleh: Aji Setiawan (Mantan Ketua PWI-Reformasi Korda Dista Yogyakarta)
PENAPERSATUAN – Dua tahun lebih pandemi Covid 19 melanda dunia. Tantangan dunia pers selain kebebasan pers, juga agar bisa bertahan di tengah gelombang badai ekonomi dan pandemi.
Ada tiga hal yang membuat kebebasan pers di Indonesia tidak tumbuh. Pertama adalah sistem yang korup yang membuat lembaga negara tak berfungsi dengan baik
Kalau sistemnya korup di mana negara tidak akan menoleh kepentingan secara interest, kepentingan sesaat, tidak akan mungkin ada kebebasan pers.
Dalam situasi seperti itu jangan diharapkan akan ada lahir regulasi-regulasi yang akan melindungi kebebasan pers. Kita lihat konteks sekarang bagaimana sikap DPR dan pemerintah ngotot merevisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang isinya kita anggap mempertahankan pasal-pasal lama yang bisa memenjarakan wartawan.
Kedua, kemiskinan yang menjerat kalangan wartawan. Kebebasan pers di Indonesia, sulit tumbuh jika kesejahteraan wartawan memprihatinkan.
Bahkan sampai jelang dinihari tadi saya berdiskusi dengan banyak media online, tentang kesulitan meraih ceruk iklan dan pasar media di saat Pandemi. Mau tidak mau, media online dan cetak terbit dengan kondisi memprihatinkan dan ceruk pasar yang pas-pasan.
Jika gaji wartawan tidak cukup. Dia tidak akan punya waktu yang cukup banyak berkonsentrasi menghasilkan karya jurnalistik yang baik. Konsentrasinya akan terpecah dengan membuat berita yang bagus dengan makanan bagus di atas meja dengan ada uang untuk membayar sekolah anak-anaknya. Jadi dengan situasi seperti itu, kemiskinan akan berpengaruh terhadap kebebasan pers.
Karena itu mengapa kesejahteraan adalah tema yang penting kalau kita berbicara kebebasan pers. Hal terakhir yang memengaruhi kebebasan pers di Indonesia adalah iklim ketakutan. Wartawan sering menghadapi ancaman, dan itu tidak hanya berwujud ancaman fisik.
Dalam kasus di Indonesia yang kami lihat berdasarkan monitoring, dunia pers saat ini malah berada dalam ancaman dari berbagai sisi, dari regulasi wartawan berhadapan dengan KUHP dan UU ITE. Dua pasal yang banyak dikritik karena dengan sangat mudah memenjarakan wartawan.
Kekerasan terhadap wartawan diperparah oleh tradisi impunitas di Indonesia sehingga pelakunya tidak diadili dengan semestinya.
Jangankan wartawan dipukul. Wartawan mati saja dalam kasus Udin sampai sekarang tidak ketahuan siapa pelakunya. Itu tradisi impunitas yang membuat bagaimana kebebasan pers mau hidup dalam situasi tersebut. Itu beberapa kondisi yang membuat kebebasan pers di Indonesia ini benar-benar dalam tantangan.
Kasus kekerasan menjadi perhatian besar dunia pers lndonesia. Perlu diungkapkan, pelaku kekerasan terhadap wartawan sepanjang tahun umumnya polisi. Sebagian besar ya motifnya polisi marah karena wartawan merekam polisi melakukan kekerasan.
Padahal, itu bagian kontrol sosial yang dilakukan oleh pers karena melakukan kekerasan bukan hanya kepada wartawan dan warga sipil. Itu kenapa kami tidak terlalu heran ketika kasus kekerasan itu banyak yang tidak diproses karena tradisi impunitas di kalangan penegak hukum Indonesia.
Menanggapi laporan lembaga pemantau Reporters Without Borders (RSF) yang menunjukkan indeks kebebasan pers Indonesia turun ke peringkat 117 pada 2022 dari posisi 113 pada tahun sebelumnya, perubahan itu mencerminkan kemunduran kebebasan pers di Indonesia.
Cerminan kemajuan kebebasan pers belum tentu, kalau melihat apa yang terjadi selama 2021 situasi di dalam negeri tidak membaik. Kalau indeks Indonesia tahun ini naik mungkin bukan karena kita membaik di dalam negeri tapi situasi di luar negeri yang lebih buruk.
Dengan demikian secara keseluruhan kemerdekaan pers di Indonesia sudah mulai membaik. Hanya saja, masih ada beberapa faktor yang menghambat kemajuannya.
Kemudian kesejahteraan juga masih menjadi persoalan, dan pendidikan. Tapi kami juga temukan di beberapa wilayah seperti di Papua dari 34 provinsi masih terbawah, ini beberapa persoalan yang dihadapi. Maka dalam indeks pers itu bisa ditemui apa yang sebenarnya menjadi persoalan pers di Indonesia dan apa yang harus diperbaiki.
Padahal, kebebasan pers penting sebagai pemandu bagi publik, alarm bagi publik dan pemerintah, dan seruan atau ‘gonggongan’ ke penguasa.
Di sisi lain, pers juga jadi penyangga penting ketika trias politica tidak berjalan. Misalnya saat ini, DPR yang memiliki fungsi pengawasan justru terlihat akrab dengan pemerintah. Di sinilah peran dari pers yang disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi.
Menjaga independensi dari kekuasaan itu sangat penting, karena begitu dia tidak independen, dia akan berhenti menggonggong. Entah karena dia diberi iklan. Entah karena pengelolanya dekat dengan penguasa. Itu beberapa faktor yang menyebabkan media tidak lagi menggonggong. Itu yang kita sesalkan.
Dijaga Kode Etik.
Kerja jurnalistik tak hanya soal kebebasan pers. Tidak sedikit media yang akhirnya dilaporkan karena pelanggaran etik. Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch Bangun mengungkapkan, dari sekitar 800-an pengaduan ke Dewan Pers, sekitar 600-an pengaduan terkait pemberitaan di media online (cyber).
Pengaduan ke Dewan Pers itu terkait ketidakmampuan menerapkan kode etik jurnalistik, terutama pada pasal 1 dan pasal 3. Kode etik tersebut merupakan hal yang dasar, karena pengaduan itu berhubungan dengan pemberitaan yang tidak akurat dan tidak berimbang.
Jenis pelanggarannya terdiri dari laporan pencemaran nama baik, pemberitaan sepihak, penyebaran informasi yang sifatnya obrolan privat, pencampuran fakta dan opini, judul yang menghakimi, narasi pembunuhan karakter, penyiaran identitas pelaku kejahatan di bawah umur, pemerasan hingga pembunuhan karakter.
Sampai saat ini, Dewan Pers memperkirakan ada 47.000 media massa dengan 43.300 diantaranya merupakan media online. Dari jumlah itu, baru 15.000 wartawan yang terdaftar lewat uji kompetensi. Dalam hal ini, kebebasan pers dan kerja jurnalistik berlandaskan kode etik merupakan dua sisi yang tak bisa dipisahkan.
Hanya dengan integritas, kemandirian dan profesionalitas pers bisa menegaskan independensinya untuk menjalankan tugas mulia yakni menyuarakan kebenaran.
(Aji Setiawan, mantan Ketua Korda PWI Refornasi Daerah Istimewa Jogjakarta. Mantan wartawan majalah alKisah Jakarta)