Tatkala PWI Reformasi Bermetamorfosis
PENAPERSATUAN – Sudah dua puluh tahun PWI Reformasi lahir. Kelahiran itu bermula dari dikeluarkannya 13 Anggota PWI pada tahun 1998. Deklarasi Sirnagalih, tahun 1998 melahirkan AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia) setelah itu, ada seorang jurnalis senior juga yakni Budiman S Hartoyo (BSH almarhum) yang bersama sama wartawan senior, dengan dukungan Dahlan Iskan (Jawa Pos) dan Parni Hadi (Republika) serta wartawan terkemuka seluruh Indonesia dari 21-23 September 1999 baru melakukan Kongres I di Bandungan, Semarang.
Kebetulan saya jadi notulen Komisi A yang membidangi anggaran dasar dan rumah tangga PWI Reformasi. Ada banyak rekomendasi Kongres I PWI Reformasi, mulai dari mengusut dalang di balik terbunuhnya Udin, dengan membentuk tim pencari fakta di bawah komando Masduki Attamimi (Antara), Melacak hari pers Nasional agar merujuk pada pijakan berdirinya pers pergerakan sebelum Indonesia merdeka. Melahirkan organisasi pers yang independen, integritas, berideologi dan sejahtera anggotanya.
Di sinilah pentingnya ideologi -meminjam istilah Budiman S Hartoyo (alm) agar bisa tetap independen (Jurnalisme Bukan Sekedar Sesuap Nasi). Pandemi juga telah membuat hampir seluruh media mendapat subsidi Menteri Ekonomi, baik untuk wartawan juga subsidi kertas.
Apalah daya jalan panjang PWI Reformasi setelah berjalan 4 tahun, selepas dipimpin Gigin Praginanto, berubah menjadi Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI) dan kondisi organisasi juga makin parah saat dipimpin Ismet Hasan Putro. Beberapa kali pengurus di Jakarta setiap bulan berkumpul di Sumedang, membahas penyelamatan organisasi. Roh PWI Reformasi memang jadi kelam selepas wafatnya BSH (17 Juli).
Apalah daya, organisasi PWI Reformasi yang dananya tidak bergantung dari luar, belum bisa mandiri penuh dan hanya karena dukungan idealisme serta semangat segelintir pengurus, akhirnya satu persatu anggotanya bergabung dengan organisasi lain di luar PWI Reformasi seperti AJI, IJTI dan lain-lain.
Menyatukan hari pers Nasional sampai sekarang, hanya pemerintah dan PWI yang tetap kukuh pada 9 FEBRUARI 1946 menjadi dasar penetapan Hari Pers Nasional (HPN) melalui Keputusan Presiden no 5 tahun 1985, adalah sebuah peristiwa besar. Bukan hanya bagi pers nasional tapi juga bangsa Indonesia.
Pihak-pihak yang tidak menyukai HPN, karena 9 Februari adalah hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengatakan, untuk apa memperingati hari kelahiran organisasi yang terkooptasi di era Orde Baru, yang tidak lagi relevan karena saat ini ada puluhan organisasi wartawan, tidak lagi sesuai dengan semangat reformasi yang dikandung dalam Undang-Undang tentang Pers no. 40 tahun 1999. Tidak juga sesuai karena sebelum PWI lahir telah banyak berdiri organisasi wartawan di zaman penjajahan seperti Perdi (Persatuan Djurnalis Indonesia).
Bahkan seperti yang ditulis Leo Sabam Batubara, ada orang seperti Tirto Adhi Surjo yang mendirikan Medan Prijaji, Dja Endar Moeda yang mendirikan Pertja Barat sampai Pewarta Deli. Dikaitkan pula dengan lahirnya Kantor Berita Antara oleh Adam Malik, Soemanang, AM Sipahoetar, Pandoe Kartawigoena yang misinya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang mungkin pantas diperingati sebagai Hari Pers Nasional. Ada sederetan kejadian yang dapat dijadikan HPN dengan argumen dan jalan pikiran yang masuk akal meski belum tentu pas (C.H Bangun).
Ada juga yang yang memperingati hari persnya berdasar hari lahirnya organisasi pers terhitung sejak tahun 1999 maka akan ada ratusan hari pers berdasar jumlah organisasi pers. Resolusi Bandungan PWI Reformasi di Hotel Nugraha, Bandungan, Ambarawa Semarang, mencoba menjawab mencari awal mula pers nasional yang bergerak memperjuangkan kemerdekaan Indonesia (pers pergerakan kemerdekaan Indonesia).
Pendapat diatas diilhami dari pernyataan Daniel Dahakidae, Litbang Kompas menyatakan penetapan hari pers tidak merujuk kepada hari lahir sebuah organisasi wartawan. Seharusnya, penetapan hari pers nasional merujuk terhadap lahirnya pers nasional itu sendiri, yang ketika itu masih dalam bentuk surat kabar.
Melacak sejarah Pers Nasional Indonesia memang tidak mudah mudah. Karena sejarah pers sudah dimulai jauh sebelum masa revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Media pada kurun waktu itu umumnya memuat seputar berita pemerintahan Hindia Belanda, sehingga pada 1615 atas perintah Jan Pieterszoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC. Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas instruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar.
Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan.
Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar.
Dikatakannya, pada 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada Oktober 1744, Vendu Nieuws pada 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Kemudian dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi.Medan Priyayi awalnya terbit tiap hari Jumat berupa buletin (Medan Moeslimin). Terbit pertama buletin Jumat ini pada 1 Januari 1901 di Bandung.
Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni RM Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan.
Hadirnya Medan Prijaji telah disambut hangat bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala.
Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922.
Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
Pada masa penjajahan Jepang surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang.
Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).
Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan September 1945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada 11 September 1945 atas prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.
Surat kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Berita Indonesia, yang terbit pada 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republik sangat pesat. Meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan distribusi.
Jadi pers Nasional pada masa sebelum kemerdekaan dimulai Pers Indonesia dimulai sejak dibentuknya Kantor berita ANTARA pada 13 Desember 1937 sebagai kantor berita perjuangan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Saya kira pendapat saya soal hari pers Nasional bisa menambah wawasan arti penting sejarah perjalanan bangsa ini sebelum merdeka menjadi awal nasionalisme sekaligus pers pergerakan dan perjuangan dalam memerdekakan Indonesia menjadi lebih jernih.
Penulis: Aji Setiawan, mantan Ketua PWI Reformasi Korda Jogjakarta